Rabu, 02 Januari 2013

Negara bebas pajak..??? ciyussss???


awalnya penasaran sama tayang televisi yang membahas tentang beberapa negara yang tidak memungut pajak terhadap warna negara nya.
Pertanyaan nya, Kok bisa yaaa????? Sebagai penonton yang mengamati, pertanyaan itu terlintas sesaat setelah narator selesai membaca narasi berita nya. Hehhee 
Pertanyaan selanjutnya, emang ada ya negara yang membebaskan pajak bagi warganya?? Kenapa di negara saya enggak? Hehehe
Itu beberapa pertanyaan alami yang terlintas dipikiran saya saat menonton televisi. 
Pertanyaan saya diatas membuat saya penasaran. Setelah saya selesai menonton, saya juga mencari-cari informasi. Akhirnya, saya mendapat penjelasan dan kesimpulan saya adalah “bahwa pajak merupakan sumber pendapatan negara yang bersumber dari rakyatnya. Uang yang dibayarkan ini nantinya akan digunakan negara untuk pembangunan dan kelangsungan pemerintahan (negara). Namun ada beberapa negara kaya yang memebebaskan rakyatnya dari pajak. Ini dilakukan karena pendapatan dari sektor lain sudah bisa menutupi biaya operasional dan pembangunan negara.

Naaahhhh! Jadi negara bisa saja membebaskan pemungutan pajak pada warganya, seperti yang sudah saya tulis kan diatas, karena negara tersebut mempunyai banyak sektor pemasukan bagi kas negara untuk pembangunan. Tidak hanya dari pemungutan pajak warga saja. Sehingga melonggarkan warganya dalam pembayaran pajak.

Ini ada beberapa contoh negara yang membebaskan warganya dari pajak penghasilan :

1. Uni Emirat Arab (UEA)
UEA termasuk negara dengan pendapatan per kapita tertinggi di dunia, menembus USD 48.200 atau sekitar Rp 457,9 juta. Negara ini tidak mengenakan pajak penghasilan pribadi. Penerimaan negara diperoleh dari perusahaan minyak.
Hal ini wajar mengingat UEA sebagai negara terbesar ketiga pengekspor minyak mentah. Perusahaan minyak dikenakan pajak hingga 55 persen. Sedangkan bank asing diwajibkan membayar pajak 20 persen.
Hasilnya, pajak minyak memberi sumbangan 80 persen untuk penerimaan negara pada 2010. Penerimaan negara lainnya berasal dari bea cukai 12 persen. UEA mengenakan pajak 50 persen untuk minuman beralkohol. Jika seseorang mengantongi izin dan beli untuk minum di rumah, akan dikenakan tambahan pajak 30 persen lagi.
Pekerja ekspatriat tidak membayar biaya keamanan sosial, tapi warga negara UEA harus membayar kontribusi bulanan sebesar 5 persen dari penghasilan mereka untuk biaya keamanan sosial. Pengusaha yang mempekerjakan warga negara UEA diwajibkan membayar kontribusi bulanan 12,5 persen dari gaji pokok karyawan untuk biaya keamanan sosial dan dana pensiun.

2. Qatar
Saat ini, Qatar tercatat sebagai negara terkaya di dunia berkat potensi gas buminya. Forbes melansir, GDP per kapita Qatar lebih dari USD 88.000 atau sekitar Rp 836 juta.
Potensi penerimaan negara bergantung dari kekayaan alam, yakni gas. Untuk itu, Qatar menanamkan investasi infrastruktur secara besar-besaran untuk melancarkan ekspor gas ke berbagai daerah.
Dengan potensi yang besar dari gas sebagai ujung tombak penerimaan negara, pemerintah Qatar tidak mengenakan pajak penghasilan pribadi, dividen, royalti, laba, capital gain dan properti. Tapi, warga negara Qatar harus membayar 5 persen dari penghasilan mereka untuk biaya keamanan sosial. Sedangkan perusahaan harus membayar 10 persen untuk pendanaan tersebut.
Awal tahun ini, muncul wacana mengenai rencana kebijakan pemerintah Qatar mempertimbangkan mengenakan pajak pertambahan nilai. Kebijakan ini sebagai upaya meningkatkan penerimaan negara dan mengurangi defisit non-hidrokarbon Qatar yang setara dengan 17 persen PDB tahun lalu. Pajak tidak langsung lainnya meliputi pengenaan biaya 5 persen untuk barang impor.

3. Oman
Seperti negara Timur Tengah lainnya, Oman juga tercatat sebagai penghasilan minyak mentah terbesar dunia. Pada April lalu, pendapatan Oman dari minyak meningkat 35 persen menjadi USD 8,49 miliar atau setara Rp 80,66 triliun. Hasil minyak menyumbang 71 persen terhadap penerimaan negara.
Meski tidak ada pajak penghasilan pribadi atau pajak capital gain, warga negaranya harus memberikan 6,5 persen dari gaji bulanan untuk biaya keamanan sosial. Biaya materai 3 persen dibebankan untuk setiap pembelian properti.

4. Kuwait
Negara Timur Tengah lain yang juga mengandalkan penerimaan negara dari sumber daya alam, khususnya minyak adalah Kuwait. Negara ini tercatat sebagai eksportir minyak terbesar keenam di dunia. Pendapatan Kuwait dari minyak bumi selama April-November 2011 mencapai USD 63,5 miliar atau setara Rp 603,25 triliun. Jumlah tersebut 95 persen dari total penerimaan negara.
Meski tidak mengenakan pajak penghasilan, pemerintah Kuwait mengharuskan warga negaranya membayar 7,5 persen dari gaji untuk biaya keamanan sosial. Sedangkan untuk perusahaan harus membayar 11 persen. IMF sudah merekomendasikan agar Kuwait menerapkan pajak pertambahan nilai dan sistem pajak penghasilan komprehensif.

5. Bahama
Dari Karibia, Bahama termasuk negara yang sangat mengandalkan perekonomiannya dari sektor pariwisata dan perbankan. Sekitar 70 persen penerimaan negara berasal dari bea cukai barang impor. Bahama tidak mengenakan pajak penghasilan pribadi, tapi pekerja harus memberikan 3,9 persen dari gajinya hingga maksimal USD 26.000 setara Rp 247 juta per tahun untuk asuransi nasional.
Perusahaan juga harus memberikan 5,9 persen dari gaji karyawan untuk asuransi nasional. Sedangkan untuk wirausahawan dikenakan 8,8 persen. Bahama mengenakan pajak properti sebesar 1 persen.

Dari beberapa contoh diatas, sebagian negara besar di Timur Tengah tidak memungut pajak penghasilan dari warganya. Namun mereka memungut untuk biaya keamanan sosial, dan biaya dengan persentasi kecil dibandingkan jika harus memungut dari penghasilan warga negaranya.

Kalo dipikir-pikir, ada nilai plus dan minus nya kalo kita membahas pajak itu.  kalo pajak terlalu besar, warganya juga kesulitan dalam pembayaran nya. Kalo plus nya, pemungutan pajak, bisa membantu dalam pembangunan dan perkembangan negara, itu juga kalo pendapatan negaranya cuma dari pemungutan pajak penghasilan aja. Tapi memang sebaiknya negara itu punya berbagai sektor-sektor pemasukan, supaya tidak hanya memberatkan pada warga negara nya saja. 





































Unemployment and NPWP..???


Ide ini muncul begitu saja saat saya memikirkan tentang tugas blog Taxation III yang di berikan dosen saya.
“apakah pengangguran juga wajib membayar pajak? Dan apa perlu juga punya NPWP?”


Naaahhhhh!.. itu juga yang muncul dipikirkan saya sampai saya membuat artikel ini. Karena ada beberapa faktor juga sih?  saya melihat beberapa orang yang ada disekitar yang bisa dikatakan “pengangguran”. Tapi terkadang ada juga salah satu dari mereka yang juga punya NPWP. Dari apa yang saya lihat di sekitar, saya punya analisa sendiri terhadap hal tersebut. Saya mempunyai pikiran, “mereka yang tidak punya penghasilan otomatis tidak punya pekerjaan tetap yang akan selalu menghasilkan dan akan dikenai pajak, dan menurut pajak (yang sudah saya pelajari), itu bisa digolongkan “pengecualian subyek pajak” (menurut saya..! ). Jadi mereka juga tidak perlu repot-repot membuat NPWP yang seharusnya hanya diperuntukkan bagi mereka yang mempunyai pekerjaan dan penghasilan tetap dan diatas standar penghasilan yang bisa dikenai pajak menurut UU pajak. Karena dalam pembuatan NPWP (yang saya tau dari my parents), ada kolom isian pekerjaan di “form” isian nya. Nah! Gak mungkin juga kolom tersebut di isi “pengangguran”, karena NPWP sendiri merupakan kependekan dari Nomor Pokok Wajib Pajak. Dari situ bisa dilihat kalo NPWP adalah nomor yang diberikan kepada Wajib Pajak (WP) sebagai sarana dalam administrasi perpajakan yang dipergunakan sebagai tanda pengenal diri atau identitas Wajib Pajak dalam melaksanakan hak dan kewajiban perpajakannya.

Beda lagi critaya kalo ada kasus, example : “ ada seorang karyawan bernama Budi yang pada bulan Desember 2009 dibuatkan NPWP oleh perusahaan tempat nya bekerja. Pada 1 April 2010 perusahaan tutup. Sampai dengan saat ini dia belum bekerja lagi dan tidak memiliki penghasilan.” Dan muncul pertanyaan seperti ini, “Bagaimana dengan pelaporan ke KPP untuk hal tersebut? Apakah NPWP nya masih berlaku? Dan bagaimana dengan laporan tahunannya?.”
Dari beberapa artikel yang saya baca, dijelaskan bahwa :

NPWP Budi tetap berlaku sepanjang belum dilakukan penghapusan NPWP oleh Kantor Pelayanan Pajak (KPP). Oleh KPP, penghapusan NPWP bagi WP Orang Pribadi (WPOP) dilakukan dalam hal:

* WPOP meninggal dunia dan tidak meninggalkan warisan;
* Wanita kawin tidak dengan perjanjian pemisahan harta dan penghasilan;
* WPOP lainnya yang tidak memenuhi syarat lagi sebagai Wajib Pajak.

“Mengenai kewajiban melaporkan SPT Tahunan, pasal 3 ayat (1) Undang-undang Nomor 28 Tahun 2007 (UU KUP) mengatur bahwa setiap Wajib Pajak wajib mengisi Surat Pemberitahuan (SPT) dengan benar, lengkap, dan jelas, dalam bahasa Indonesia dengan menggunakan huruf Latin, angka Arab, satuan mata uang Rupiah, dan menandatangani serta menyampaikannya ke kantor Direktorat Jenderal Pajak tempat Wajib Pajak terdaftar atau dikukuhkan atau di tempat lain yang ditetapkan oleh Direktur Jenderal Pajak.”

Selanjutnya “pasal 2 dan pasal 3 Peraturan Menteri Keuangan Nomor 183/PMK.03/2007 mengatur bahwa Wajib Pajak Orang Pribadi yang dalam satu tahun pajak menerima atau memperoleh penghasilan neto tidak melebihi Penghasilan Tidak Kena Pajak dikecualikan dari kewajiban menyampaikan SPT Masa PPh pasal 25 dan SPT Tahunan PPh Wajib Pajak Orang Pribadi.”

jadi dari apa yang saya baca, meskipun sampai dengan saat ini belum bekerja lagi dan tidak memiliki penghasilan, Bapak Budi sebaiknya tetap melaporkan SPT Tahunan PPh Orang Pribadi ke KPP dengan penghasilan nihil ke KPP wilayah nya.

Apabila secara permanen di masa yang akan datang Bapak Budi tidak memperoleh penghasilan sehingga tidak memenuhi syarat lagi sebagai Wajib Pajak, maka Bapak Budi dapat mengajukan permohonan penghapusan NPWP.

itu sedikit pengalaman atau pengetahuan dari saya yang memang muncul dipikiran saya.. hehhe 
ini crita ku.. apa crita muu.. ^_^